Jumat, 12 Februari 2010

FAKTOR KRIMINALITAS MENINGKATKAN ANGKA KEMATIAN DI INDONESIA

* Guest Book

FAKTOR KRIMINALITAS MENINGKATKAN ANGKA KEMATIAN DI INDONESIA

Posted on November 26, 2008. Filed under: Uncategorized | Tags: Referat |

I. PENGERTIAN KRIMINALITAS

Kriminalitas berasal dari kata “crimen” yang berarti kejahatan. Berbagai sarjana telah berusaha memberikan pengertian kejahatan secara yuridis berarti segala tingkah laku manusia yang dapat dipidana ,yang diatur dalam hukum pidana.

Hal yang sama pernah dilakukan pula oleh para ahli hokum dalam mencari arti hokum sebagaimana dikemukakan oleh Immanuel Kant : “noch suchen die yuristen eine definition zu ihrem begriffe von recht”. (L.j Van Apeldoorn,Pengantar Ilmu Hukum,Pradnya Paramita,Jakarta,1981,hlm.13)

Berikut pengertian kejahatan dipandang dalam berbagai segi:

* Secara yuridis, kejahatan berarti segala tingkah laku manusia yang dapat dipidana,yang diatur dalam hokum pidana.
* Dari segi kriminologi,setiap tindakan Dari segi kriminologi setiap tindakan atau perbuatan tertentu yang tindakan disetujui oleh masyarakat diartikan sebagai kejahatan. Ini berarti setiap kejahatan tidak harus dirumuskan terlebih dahulu dalam suatu peraturan hokum pidana. Jadi setiap perbuatan yang anti social,merugikansertab menjengkelkan masyarakat,secara kriminologi dapat dikatakan sebagai kejahatan
* Arti kejahatan dilihat dengan kaca mata hokum, mungkin adalah yang paling mudah dirumuskan secara tegas dan konvensional. Menurut hokum kejahatan adalah perbuatan manusia yang melanggar atau bertentangan dengan apa yang ditentukan dalam kaidah hokum; tegasnya perbuatan yang melanggar larangan yang ditetapkan dalam kaidah hokum,dan tidak memenuhi atau melawan perintah-perintah yang telah ditetapakan dalam kaidah hokum yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan bertempat tinggal.(Soedjono. D,S.H.,ilmu Jiwa Kejahatan,Amalan, Ilmu Jiwa Dalam Studi Kejahatan,Karya Nusantara,Bandung,1977,hal 15).

Dari segi apa pun dibicarakan suatu kejahatan,perlu diketahui bahwa kejahatan bersifat relative. Dalam kaitan dengan sifat relatifnya kejahatan, G. Peter Hoefnagels menulis sebagai berikut : (Marvin E Wolfgang et. Al., The Sociology of Crime and Delinquency,Second Edition,Jhon Wiley,New York,1970,hlm. 119.)

We have seen that the concept of crime is highly relative in commen parlance. The use of term “crime” in respect of the same behavior differs from moment to moment(time), from group to group (place) and from context to (situation).

Relatifnya kejahatan bergantung pada ruang,waktu,dan siapa yang menamakan sesuatu itu kejahatan. “Misdad is benoming”, kata Hoefnagels; yang berarti tingkah laku didefenisikan sebagai jahat oleh manusia-manusia yang tidak mengkualifikasikan diri sebagai penjahat. (J.E. Sahetapy, Kapita Selekta Kriminologi,Alumni, Bandung, 1979,hlm.67.)

Dalam konteks itu dapat dilakukan bahwa kejahatan adalah suatu konsepsi yang bersifat abstrak. Abstrak dalam arti ia tidak dapat diraba dan tidak dapat dilihat,kecuali akibatnya saja.

II. PENGERTIAN PENJAHAT DAN JENIS-JENISNYA

Orang yang bagaimana yang dimaksudkan sebagai seorang penjahat? Di dalam pikiran umum,perkataan “penjahat” berarti mereka yang dimusuhi masyarakat. Di dalam arti inilah Trade menyatakan bahwa para penjahat adalah sampah masyarakat.

Berdasarkan tradisi hokum (peradilan) yang demokratis bahkan eorang yang mengaku telah melakukan suatu kejahatan ataupun tidak dipandang sebagai seorang penjahat sampai kejahatannya dibuktikan menurut proses peradilan yang telah ditetapkan.

Maka sesuai dengan itu, seorang penjaga penjara tidak akan dapat dibenarkan menurut hokum kalau menerima sesorang yang tidak pernah resmi dinyatakan bersalah dan dihukum,dan para pejabat Negara tidak akan dapat secara benar-benar menghilangkan hak-hak sipil kepada orang-orang yang tidak pernah dinyatakan bersalah mengenai suatu kejahatan. Begitu pula halnya,para ahli kriminologi tidak dapat secara benar-benar dapat dipertanggung jawabkan menetapkan sebagai penjahat kepada orang-orang yang bertingkah laku secara antisocial,tetapi tidak melanggar suatu undang-undang pidana.(Ibid,hal 34,35).

Di Indonesia secara tegas tidak dijumpai orang yang disebut penjahat; dalam peruses peradilan pidana,kita hanya mengenal secara resmi istilah-istilah : tersangka,tertuduh,terdakwa dan terhukum atau terpidana. Sedangkan kata-kata seperti penjahat,bandit,bajingan hanya dalam kata sehari-hari yang tidak mendasar pada ketentuan hokum.

A. Adapun tipe atau jenis-jenis menurut penggolongan para ahlinya adalah sebagai berikut ;

1. Penjahat dari kecendrungan(bukan karena bakat).

2. Penjahat karena kelemahan(karena kelemahan jiwa sehingga sulit menghindarkan diri untuk tidak berbuat).

3. Penjahat karena hawa nafsu yang berlebihan ; dan putus asa.

penjahat terdorong oleh harga diri atau keyakinan.

B. Pembagian menurut Seelig :

1. Penjahat karena segan bekerja.

2. Penjahat terhadap harta benda karena lemah kekuatan bathin untuk menekan godaan.

3. Penjahat karena nafsu menyarang.

4. Penjahat karena tidak dapat menahan nafsu seks.

5. Penjahat karena mengalami krisis kehidupan

6. enjahat terdorong oleh pikirannya yang masih primitive.

7. Penjahat terdorong oleh keyakinannya.

8. Penjahat karena kurang disiplin kemasyarakatan.

9. Penjahat campuran ( gabungan dari sifat-sifat yang terdapat pada butir 1 s/d 8 )

C. Pembagian menurut Capelli

1. Kejahtan karena factor-faktor psikopathologis, yang pelakunya terdiri dari

a) Orang-orang yang sakit jiwa.

b) Orang-orang yang berjiwa abnormal (sekalipun tidak sakit jiwa).

2. Kejahatan karena factor-faktor cacad atau kemunduran kekuatan jiwa dan raganya,yang dilakukan oleh :

a) Orang-orang yang menderita cacad setelah usia lanjut.

b) Orang-orang menderita cacad badaniah atau rohaniah sejak masa kanak-kanak ; sehingga sukar menyesuaikan diri di tengah masyarakatnya.

3. Kejahatan karena factor-faktor social yang pelakunya terdiri dari :

Penjahat kebiasaan.

a) Penjahat kesempatan,karena menderita kesulitan ekonomi atau kesulitan fisik.

b) Penjahat yang karena pertama kali pernah berbuat kejahatan kecil yang sifatnya kebetulan dan kemudian berkembang melakukan kejahatan yang lebih besar dan lebih sering.

c) Orang-orng yang turut serta pada kejahatan kelompok seperti, pencurian-pencurian di pabrik dan lain sebagainya.

Bila kita perhatikan kategori jenis-jenis pelanggar hokum atau disebut dalam bahasa inggris Criminal , yang sementara kita alih bahaskan dengan penjahat ; maka terdapat diantarnya penjahat yang dalam melakukan kejahatannya dengan:

1. Kesadaran yang memang sudah merupakan pekerjaannya (professional criminal). Yang dapat dilakukan oleh perorangan seperti penjahat-penjahat bayaran, yang diupah untuk menganiaya atau bahkan membunuh. Atau dilakukan secara kelompok dan teratur seperti dalam bentuk kejahatan yang diorganisir (beda misalnya Donald R Cressey “Criminal Organization”,Heiniman Educational Books,London,1972)

2. Kesadaran bahwa tindakan tersebut harus dilakukan sekalipun merupakan pelanggaran hokum ; yaitu penjahat yang melakukan kejahatan dengan ditimbang-timbang atau dengan persiapan terlebih dahulu.

3. Kesadaran bahwa pelaku tidak diberi kesempatan oleh masyarakat atau pekerjaan dalam masyarakat tak bias memberi hidup,sehingga memilih menjadi resdidivisi.

III. SEBAB TERJADINYA KRIMINALITAS

Sebab –sebab terjadinya kejahatan adalah bermacam-macam . Walaupun secara jelas belum dapat diberikan sutu teori tentang sebab-sebab kejahatan, namun banyak factor yang telah diidentifikasikan ,yang sedikt banyaknya mempunyai korelasi dengan frekuensi kejahatan. Factor-faktor tersebut secara kasar dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori,walaupun demarkasi antara ketiganya tidak selalu jelas, yaitu:

1. Kondisi-kondisi social yang menimbulkan hal-hal yang merugikan hidup manusia. Kemiskinan yang meluas dan pengangguran,pemerataan kekayaan yang belum berhasil diterapkan, pemberian ganti rugi tidak memadai, pada orang-orang yang tanahnya diambil pemerintah kurangnya fasilitas pendidikan,dan lain-lain.

2. Kondisi yang ditimbulkan oleh urbanisasi dan industrialasai. Indonesia sebagai suatu Negara berkembang sebenarnya menghadapi suatu dilemma. Pada satu pihak merupakan suatu keharusan untuk melaksanakan pembangunan,dan pada pihak lain pengakuan yang bertambah kuat, bahwa harga diri pembangunan itu ,adalah peningkatan yang menyolok dari kejahatan. Luasnya problema yang timbul karena banyaknya perpindahan, dan peningkatan fasilitas kehidupan,bisanya ,biasanya dinyatakan sebagai “urbanisasi yang berlebihan” (overurbanization) dari suatu Negara. Keadaan-keadaan tersebut menimbulkan peningkatan kejahatan yang tambah lama tambah kejam diluar kemanusiaan.

3. Kondisi lingkungan yang memudahkan orng melakukan kejahatan. Contoh-ciontoh adalah memamerkan barang-barang dengan menggiurkan di supermarket,mobil dan rumah yang tidak terkunci ,took-toko yang tidak dijaga, dan kurangnya pengawasan atas senjata api dan senjata-senjata lain yang berbahaya. Tidak diragukan bahwa banyak calon-calon penjahat yang ingin melakukannya jika melakukannya jika pelaksanannya secara fisik dibuat sulit.(anami)

IV. JENIS-JENIS KRIMINALITAS

Cavan membagi 9 jenis kejahatan yang dijumpai di Amerika.

1. The Casual Offender

2. the Occasional Criminal

3. the Episodic Criminal

4. The White Collar Criminal

5. The Habitual Criminal

6. The Proffesional Criminal

7. Organized Crime

8. The mentally Abnormal criminal27) (Sudjono.D.S.H.,Kriminalitas dan ilmu Forensik,bandung ,1976.hal 97)

9. The nonmalicious Criminal

Adalah:

1. Pelanggaran – pelanggaran ringan.

2. Kejahatan – kejahatan ringan.

3. Kejahatan yang disebabkan oleh dorongan emosi.

4. Kejahatan yang dilakukan oleh orang – orang yang berstatus sosial tinggi dan perbuatannya terselubung dalam jabatannya.

5. Penjahat yang mengulang – ngulang perbuatan jahatnya.

6. Penjahat yang melakukan kejahatannya sebagai suatu nafkah.

7. Kejahatan – kejahatan yang diorganisir umumnya bergerak di bidang pengedaran gelap narkotik, perjudian, rumah – rumah prostitusi dan lain –lain.

8. penjahat-penjahat yang melakukan peerperbuatannya karena ketidaknormalan (psychopatis dan psychotis).

9. Penjahat atau katakanlah pelanggar – pelanggar hukum, yang melakukan perbuatan yang menurut kesadaran dan atau kepercayaan bukan merupakan kejahatan bahkan menganggapnya suci.

Sedangkan W.A.Bonger dalam buku kecilnya Pengantar Tentang Kriminologi, secara sederhana dan lebih bersifat umum dan universal, membagi kejahatan dalam 4 jenis, yaitu :

1. Kejahatan ekonomi

2. Kejahatan kekerasan

3. Kejahatan Seks

4. Kejahatan Politik

Pembagian tersebut didasarkan pada motivasi dilakukannya kejahatan tersebut yang berhubungan dengan factor-faktor ekonomi yaitu dorongan untuk melakukan kekerasan dan siksaan, dorongan seksual dan motif -motif politis.

V. KRIMINALITAS YANG MENYEBABKAN KEMATIAN

Jenis-jenis kriminalitas yang telah diklasifikasikan oleh Cavan dan W.A. Bonger di atas, kecuali pelanggaran-pelanggaran ringan dan kejahatan-kejahatan ringan pada point 1 dan 2 dalam klasifikasi yang diurutkan oleh Cavan, semuanya dapat menyebabkan kematian, apabila suatu kriminalitas itu berakhir dengan pembunuhan.

VI. SOLUSI

Di Indonesia, data-data kepolisian menunjukkan terjadinya kejahatan sebagai berikut (Vide, Majalah Selecta, 1116 Tahun XXV).

a. Pencurian dengan kekerasan terjadi pada setiap 4,5 menit

b. Penganiayaan berat terjadi pada setiap 31 menit

c. Pemerasan terjadi pada setiap 3 jam

d. Pemerkosaan terjadi pada setiap 3,5 jam.

e. Penculikan terjadi pada setiap 4,5 jam.

f. Pembunuhan terjadi pada setiap 4,5 jam.

Demikian kenyataan gambaran kejahatan yang melanda masyarakat Indonesia yang boleh dikatakan telah menjadi penyakit yang perlu mendapat perawatan segera, yang menantang para pemimpin, ahli-ahli hukum, para psikolog, pemerintah dan lain-lainnya, terutama para orang-orang tua untuk mencegah daya jelajahnya agar jangan sampai menular pada generasi penerus bangsa yaitu anak-anak.

Beberapa alasan mengapa mencurahkan perhatian yang lebih besar pada pencegahan sebelum kriminalitas dan penyimpangan lain dilakukan.

Adapun alasannya sebagai berikut:

1. Tindakan pencegahan adalah lebih baik daripada tindakan represif dan koreksi. Usaha pencegahan tidak selalu memerlukan suatu organisasi yang rumit dan birokrasi, yang dapat menjurus ke arah birokratisme yang merugikan penyalahgunaan kekuasaan/wewenang. Usaha pencegahan adalah lebih ekonomis bila dibandingkan usaha represif dan rehabilitasi. Untuk melayani jumlah orang yang lebih besar jumlahnya tidak diperlukan banyak dan tenaga seperti pada usaha represif dan rehabilitasi menurut perbandingan. Usaha pencegahan juga dapat dilakukan secara perorangan / sendiri-sendiri dan tidak selalu memerlukan keahlian seperti pada usaha represif dan rehabilitasi. Misalnya menjaga diri jangan sampai menjadi korban kriminalitas, tidak lalai mengunci rumah/kenderaan, memasang lampu di tempat gelap dan lain-lain.

2. Usaha pencegahan tidak perlu menimbulkan akibat yang negatif seperti antara lain: stigmatisasi (pemberian cap pada yang dihukum / dibina), pengasingan, penderitaan dalam berbagai bentuk, pelanggaran hak asasi, permusuhan/kebencian terhadap satu sama lain yang dapat menjurus ke arah residivisme. Viktimisasi structural (penimbulan korban struktur tertentu dapat dikurangi dengan adanya usaha pencegahan tsb, misalnya korban suatu sistem hukuman, peraturan tertentu sehingga dapat mengalami penderitaan metal fisik dan social).

3. Usaha pencegahan dapat pula mempererat persatuan, kerukunan dan meningkatkan rasa tanggung jawab terhadap sesama anggota masyarakat. Dengan demikian, usaha pencegahan dapat membantu orang mengembangkan orang bernegara dan bermasyarakat lebih baik lagi. Oleh karena mengamankan dan mengusahakan strabilitas dalam masyarakat, yang diperlukan demi pelaksanaan pembangunan nasional untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur. Usaha pencegahan kriminalitas dan penyimpangan lain dapat merupakan suatu usaha menciptakan kesejahteraan mental, fisik dan sosial seseorang.

Kita mengetahui bahwa pada masa yang silam reaksi hukuman atas kejahatan sangat berat tujuannya untuk menakut-nakuti masyarakat agar jangan melakukan kejahatan, dan siksaan sebagai pembalasan. Hingga kini masih tampak usaha mengurangi kejahatan dengan memperberat sanksi-sanksi pidananya sekalipun. Kita tahu bahwa cara-cara tersebutb tidak efisien. Itulah sebabya Politik Kriminal (cara-cara menanggulangi kejahatan) condong ke arah rehabilitasi narapidana dan mencegah kemungkinan timbulnya kejahatan debgan usaha pendidikan dan pergaulan tradisional (kekeluargaan) yang bernilai dalam hal ini pengetahuan tentang faktor-faktor kriminogen dalam masyarakat yang bersangkutan adalah sangat penting karena dengan diketahuinya faktor-faktor yang dapat menimbulkan kejahatan kita akan mempunyai pegangan di dalam politik kriminal homogen yang bila kita bentuk akan melindungi masyarakat. Dalam hal ini, dapat dilakukan tindak cara :

Satu : Pemisahan (pengasingan) yang relatif permanen antaa penjahat dan masyarakat harus ditiadakan karena pemisahan tersebut hanya akan menimbulkan masyarakat dengan pelanggaran saja, tetap tidak memperbaiki narapidana itu sendiri.

Dua : Politik ini kena dituangkan ke dalam masyarakat tanpa mengalihkan mereka ke dalam proporsi luas yang tidak mempunyai kepastian di dalam masyarakat yang terorganisasi yang merupakan kebudayaan umum yang anti kriminal.

Tiga : Politik ini akan memberikan batasan kepada individu dan situasi sosial yang sering kali timbul. Proteksi terhadap kejahatan perlu diadakan perubahan.

Hal ini dapat dibuktikan bahwa di dalam masyarakat yang terorganisasi mencela kejahatan sama kerasnya dengan mencela hukuman-hukuman berat, dan mempunyai pendapat bahwa pengawasan dan pencegahan akan berpengaruh lebih besar terhadap kejahatan.

Dapat dikatakan perilaku kriminal adalah suatu perilaku yang beradaptasi pada suatu hasil kondisi lingkungan tertentu. Dengan demikian kita sampai pada perhatian adaptasi pada suatu lingkungan sebagai suatu proses yang menetukan. Dikatakan bahwa perilaku kriminal itu mengandung beberapa unsur lain seperti :

a. Unsur pendukung pada suatu perbuatan kriminal.

b. Resiko yang dikandung dalam pelaksanaan suatu kriminalitas.

c. Masa lampau yang mengkondisikan seorang individu terlibat.

d. Struktur kemungkinan untuk melakukan suatu kriminalitas.

Unsur yang terakhir kemungkinan/kesempatan untuk melakukan kriminalitas juga ada hubungannya dengan pola-pola respons yang berbeda-beda karena seseorang individu tidak akan berlaku kriminal dan menimbulkan korban sampai ada suatu kesempatan untuk berbuat kriminal muncul dengan sendirinya dalam suatu lingkungan. Lokasi kriminalitas ada pada suatu lingkungan dan tidak ada pada seorang individu. Suatu struktur lingkungan yang sesuai bagi seseorang akan memungkinkan orang tersebut menjadi kriminal atau tidak kriminal. Misalnya : sistem pengawasan lemah dan lingkungan yang sepi, gelap dan berdesak-desak.

Usaha pencegahan mempunyai beberapa persoalan dalam pelaksanaanya dan menimbulkan persoalan lain lebih lanjut antara lain :

1. Persoalan partisipasi dan tanggung jawab

a. Sejauh manakah setiap anggota masyarakat kota sadar dan merasa ikut serta betanggung jawab dalam usaha pencegahan kriminalitas ini sesuai dengan kemampuannya masing-masing di daerah perkotaan dan mempunyai akibat yang positif dan negatif. Misalnya bersedia bertindak atau melapor pada yang berwajib apabila menjadi korban suatu tindakan kriminal atau melihat langsung suatu kriminalitas, karena merasa ikut bertanggung jawab secra langsung atau tidak dalam timbulnya kriminalitas dalam suatu masyarakat. Adanya kesadaran untuk melapor pada yang berwajib apabila menjadi korban atau melihat orang lain menjadi korban kriminalitas; kesadaran untuk ikut membantu mencegah kriminalitas dengan ikut meronda, melakukan pengawasan pengadaan dana untuk kegiatan pada anak dan pemuda agar tidak menjadi delinquent.

b. Masih adanya asumsi bahwa pemerintah saja yang bertanggung jawab terhadap kriminalitas sehingga rakyat segan untuk ikut serta dalam usaha pencegahan tsb. Apalagi bila keinginan berpartisipasi dalam berbagai bentuk tidak mendapat sambutan atau dikembangkan dengan baik.

c. Persoalan disini adalah bagaimana mengembangkan kegairahan anggota masyarakat dalam usaha pencegahan tersebut sebagai warga kota yang baik (cara penyuluhan, isi penyuluhan)

2. Persoalan kooperasi dan koordinasi antara para partisipasi dalam pencegahan kriminalitas. Tidak adanya kooperasi dan koordinasi dalam usaha pencegahan kriminalitas merupakan hambatan pelaksanaaan pencegahan tersebut malahan dapat menimbulkan kriminalitas karena pertentangan yang tidak sehat (perlu diperhitungkan halangan dari organisasi kriminal dan politik). Misalnya tidak ada kerja sama antara badan-badan penegak hokum, saling berselisih paham dalam usaha pencegahan kriminalitas, karena prestise atau tidak rela pihak-pihak lain mendapat pujian, saling lepas tangan/tidak mau bertanggungjawab. Adanya organisasi kriminal dan politik yang menghalangi usaha pencegahan dan penertiban keamanan, karenajustru mempertahankan ketidaktertiban dan kekacauan demi kepentingan organisasi.

3. Persoalan planning dan program yang berhubungan erat dengan kooperasi dan koordinasi pencegahan kriminalitas. Tidak adanya planning dan program dalam usaha pencegahan kriminalitas mempersulit kooperasi dan koordinasi dalam usaha pencegahan kriminalitas (terutama dalam rangka pencegahan melalui perbaikan lingkungan dan perilaku). Misalnya, konflik kegiatan pencegahan antara badan-badan penegak hukum yang bertanggung jawab terhadap pengadaan keamanan dan ketertiban yang saling tidak setuju mengenai bentuk, lay out, penggunaan sarana dan cara pembinaan perilaku anggota masyarakat dan aparatur Pemerintah (Ibid, hal 18,19)

4. Untuk membuat planning dan program yangdapat dipertanggung jawabkan diperlukan data sebagai hasil penelitian. Maka persoalan yang timbul sekarang adalah yang berhubungan dengan pelaksanaan penelitian tersebut dengan fasilitas para pelaksana / tenaga dan dana. Misalnya, sarana, dana, pelaksanaan kebijakasanaan, rumusan Undang-Undang / peraturan penafsiran yang berbeda antara para partisipasi dalam usaha pencegahan kriminalitas.

5. Yang perlu juga mendapat perhatian adalah persoalan yang berhubungan dengan faktor-faktor lain yang mendukung dan menghambat pelaksanaan pencegahan kriminalitas di daerah perkotaan.

6. Persoalan perlu ada tidaknya peraturan / Undang-Undang yang menjamin pelaksanaan usaha pencegahan secara bertanggung jawab. Misalnya, Undang-Undang / peraturan yang merupakan dasar / pedoman dan menjamin adanya pemerataan kesempatan memenuhi keperluan fisik mental, sosial setiap anggota masyarakat sehingga tidak melakukan kriminalitas.

7. Persoalan pencegahan kriminalitas dengan cara menghapuskan peraturan yang merumuskan suatu perbuatan sebagai suatu tindakan kriminal. Dengan penghapusan peraturan tersebut, tidak selalu dihapuskan juga dengan sendirinya, masalah yang harus dihilangkan secara formal.

Mencegah kejahatan berarti menghindarkan masyarakat dari jatuhnya korban, penderitaan korban serta kerugian lainnya. Meskipun demikian hal pencegahan ini tugas Jaksa belum secara langsung tersangkut dalam kegiatannya, namun secara nasional kiranya perlu ada perhatian. Kegiatan pencegahan kejahatan meliputi :

a. Pemanfatan masyarakat dan lembaga-lembaga yang telah ada. (Ini telah dilakukan pemerintah antara lain dengan siskamling).

b. Pencegahan serta usaha mengurangi segala macam disorganisasi sosial. (Ini dapat ditangani oleh Dep. Sosial, Dep. P & K, Dep. Tenaga Kerja, Pramuka dsb).

c. Penggalakan penyuluhan hukum dan pemberian bantuan hukum.

Suatu hal ynag sekali lagi perlu ditegaskan ialah : kejahatan adalah fungsi kompleksitas masyarakat. Dan makin banyak diadakan peraturan, makin banyak pula kemungkinan pelanggaran.

Sebaliknya : peradaban telah berkembang dengan penuh inkonsistensi dan banyak menimbulkan frustrasi antara lain dengan makin melebarnya jurang antara pola hidup warga yang kaya dengan rakyat banyak yang masih harus hidup di bawah garis kemiskinan.

Juga konflik kebudayaan, bentrok kepentingan ekonomi memerlukan pemikiran yang serius guna menemukan pemecahan yang tidak hanya untuk kepentingan warga masyarakat dalam satu negara, tetapi bagi seluruh dunia. Masalah narkotika, ‘mafia’ perdagangan gela / penyelundupan merupakan isu yang dapat merusak generasi muda dalam merongrong nasionalisme (Drs. Santosa, op cit, Hal 6)

Supaya dapat melaksanakan tugas sebaik-baiknya, maka petugas penegak hukum, polisi dan jaksa perlu menguasai sarana kerja guna mempercepat penyelesaian pengusutan perkara dengan cepat pula menemukan pelaku pelanggar hukum dengan cara yang manusiawi. Dan saran kerja itu antara lain adalah metode interview / interogasi di samping alat-alat lain yang diperlukan dalam pemeriksaan penyelidikan.

Penjahat yang merasa ‘dimengerti’ akan lebih mudah siap membuka diri untuk pengakuan daripada yang terus-menerus merasa terancam. Sesungguhnya penjahat yang tertangkap itu memerlukan perlindungan

Kriminal, Kriminalitas, Kriminalisasi KPK

Ada kriminal, ada kriminalitas. Ada lagi sebuah kata yang semakin tidak asing di telinga kita: kriminalisasi. Kata tersebut muncul lebih kuat ketika proses penyidikan 2 pimpinan KPK, Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah (Bibit-Chandra) berlangsung. Keduanya sudah ditahan oleh penyidik Mabes Polri, meski pimpinan KPK tersebut menolak menandatangani berita acara penahanan. Belakangan, Polri menangguhkan penahanan Bibit-Chandra, keduanya pun keluar dari Tahanan Mabes Polri, tapi proses hukum terus berlangsung. Kriminalisasi KPK mencuat sebagai isu nasional. Pemberitaan di televisi sangat sporadis. Muara pemberitaan mengarah pada perseteruan antara KPK dengan POLRI dalam hal kewenangan menangani kasus-kasus korupsi. Yang mengherankan, CICAK vs BUAYA, istilah yang menggambarkan perseteruan kedua lembaga tersebut sudah dicabut dan Kapolri meminta maaf atas penggunaan kata tersebut :)

Pengamat Politik Eep Saefulloh Fatah mengatakan: Bibit dan Chandra menjadi tersangka karena dipandang oleh polisi telah melakukan “penyalahgunaan wewenang”. Padahal, wewenang yang sama dan penggunaan serupa dilakukan pimpinan KPK sejak periode pertama lembaga ini berdiri. Pimpinan yang lain tak terundung sanksi hukum apa pun atas ”penyalahgunaan wewenang” sebagaimana disangkakan kepada Bibit dan Chandra. Alhasil, Bibit dan Chandra mengalami kriminalisasi (Klik saja nama Kang Eep untuk melihat secara lengkap ulasannya)

Pengertian tentang kriminalisasi muncul ketika kita dihadapkan pada suatu perbuatan yang merugikan orang lain atau masyarakat yang hukum nya belum ada atau belum ditemukan. Persoalan kriminalisasi timbul karena dihadapan kita terdapat perbuatan yang berdimensi baru, sehingga muncul pertanyaan adakah hukumnya untuk perbuatan tersebut. Kesan yang muncul kemudian adalah terjadinya kekosongan hukum yang akhirnya mendorong kriminalisasi terhadap perbuatan tersebut.

Melihat pengertian tersebut, Sahabat Blogger tentu bisa mengamati proses-proses dan peristiwa-peristiwa dalam masyarakat yang memenuhi kriteria sebagai bentuk-bentuk kriminalisasi sampai bentuk-bentuk kriminalitas yang sebenarnya. Dalam wilayah dunia maya, kriminalisasi juga sangat berpotensi terjadi. Istilah Cyber Crime sudah sering pula kita dengar. Kasus Ibu Prita Mulyasari misalnya, adalah salah satu contoh bagaimana proses kriminalisasi ada, terjadi dan muncul dari ranah dunia maya.

Bagaimana akhir kisah perseteruan KPK dengan Polri? Tim Pencari Fakta sudah dibentuk. Kita tunggu saja hasil kerja mereka. Namun yang jelas, dari sisi bagaimana opini publik sudah terbentuk, ada preseden yang buruk terhadap kredibilitas lembaga penegak hukum dalam hal ini Polri. Polri akan semakin diuji dengan mencuatnya dukungan dari berbagai elemen masyarakat terhadap KPK. Ini juga sekaligus bagian dari cobaan lembaga KPK yang dalam hitungan kurang lebih satu tahun berjalan, tiga pimpinan nya, Antasari Azhar, Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah, harus ditahan untuk kasus krimininal, kriminalitas dan kriminalisasi yang berbeda.

Sekali lagi saya katakan, kasus tersebut merupakan preseden yang buruk bagi pendidikan politik dan hukum jika perseteruan KPK vs Polri tidak segera berakhir atau diakhiri. Mengapa? Sebab perseteruan tersebut sangat tidak mendidik bagi generasi bangsa. Sahabat Blogger, Anda tentu punya pendapat, silakan tinggalkan pendapat Sahabat di kolom komentar :) Tetaplah tebarkan senyum, seperti senyum Chandra M Hamzah yang khas dalam kondisi tekanan yang luar biasa.

Kriminal, Kriminalitas, Kriminalisasi KPK

Ada kriminal, ada kriminalitas. Ada lagi sebuah kata yang semakin tidak asing di telinga kita: kriminalisasi. Kata tersebut muncul lebih kuat ketika proses penyidikan 2 pimpinan KPK, Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah (Bibit-Chandra) berlangsung. Keduanya sudah ditahan oleh penyidik Mabes Polri, meski pimpinan KPK tersebut menolak menandatangani berita acara penahanan. Belakangan, Polri menangguhkan penahanan Bibit-Chandra, keduanya pun keluar dari Tahanan Mabes Polri, tapi proses hukum terus berlangsung. Kriminalisasi KPK mencuat sebagai isu nasional. Pemberitaan di televisi sangat sporadis. Muara pemberitaan mengarah pada perseteruan antara KPK dengan POLRI dalam hal kewenangan menangani kasus-kasus korupsi. Yang mengherankan, CICAK vs BUAYA, istilah yang menggambarkan perseteruan kedua lembaga tersebut sudah dicabut dan Kapolri meminta maaf atas penggunaan kata tersebut :)

Pengamat Politik Eep Saefulloh Fatah mengatakan: Bibit dan Chandra menjadi tersangka karena dipandang oleh polisi telah melakukan “penyalahgunaan wewenang”. Padahal, wewenang yang sama dan penggunaan serupa dilakukan pimpinan KPK sejak periode pertama lembaga ini berdiri. Pimpinan yang lain tak terundung sanksi hukum apa pun atas ”penyalahgunaan wewenang” sebagaimana disangkakan kepada Bibit dan Chandra. Alhasil, Bibit dan Chandra mengalami kriminalisasi (Klik saja nama Kang Eep untuk melihat secara lengkap ulasannya)

Pengertian tentang kriminalisasi muncul ketika kita dihadapkan pada suatu perbuatan yang merugikan orang lain atau masyarakat yang hukum nya belum ada atau belum ditemukan. Persoalan kriminalisasi timbul karena dihadapan kita terdapat perbuatan yang berdimensi baru, sehingga muncul pertanyaan adakah hukumnya untuk perbuatan tersebut. Kesan yang muncul kemudian adalah terjadinya kekosongan hukum yang akhirnya mendorong kriminalisasi terhadap perbuatan tersebut.

Melihat pengertian tersebut, Sahabat Blogger tentu bisa mengamati proses-proses dan peristiwa-peristiwa dalam masyarakat yang memenuhi kriteria sebagai bentuk-bentuk kriminalisasi sampai bentuk-bentuk kriminalitas yang sebenarnya. Dalam wilayah dunia maya, kriminalisasi juga sangat berpotensi terjadi. Istilah Cyber Crime sudah sering pula kita dengar. Kasus Ibu Prita Mulyasari misalnya, adalah salah satu contoh bagaimana proses kriminalisasi ada, terjadi dan muncul dari ranah dunia maya.

Bagaimana akhir kisah perseteruan KPK dengan Polri? Tim Pencari Fakta sudah dibentuk. Kita tunggu saja hasil kerja mereka. Namun yang jelas, dari sisi bagaimana opini publik sudah terbentuk, ada preseden yang buruk terhadap kredibilitas lembaga penegak hukum dalam hal ini Polri. Polri akan semakin diuji dengan mencuatnya dukungan dari berbagai elemen masyarakat terhadap KPK. Ini juga sekaligus bagian dari cobaan lembaga KPK yang dalam hitungan kurang lebih satu tahun berjalan, tiga pimpinan nya, Antasari Azhar, Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah, harus ditahan untuk kasus krimininal, kriminalitas dan kriminalisasi yang berbeda.

Sekali lagi saya katakan, kasus tersebut merupakan preseden yang buruk bagi pendidikan politik dan hukum jika perseteruan KPK vs Polri tidak segera berakhir atau diakhiri. Mengapa? Sebab perseteruan tersebut sangat tidak mendidik bagi generasi bangsa. Sahabat Blogger, Anda tentu punya pendapat, silakan tinggalkan pendapat Sahabat di kolom komentar :) Tetaplah tebarkan senyum, seperti senyum Chandra M Hamzah yang khas dalam kondisi tekanan yang luar biasa.